Mengenang Perjuangan Rakyat Pekalongan 3 Oktober 1945

Bagi masyarakat Kota Pekalongan tanggal 3 Oktober merupakan tanggal yang sakral, karena di tanggal itulah rakyat Pekalongan dengan keberanian luar biasa berperang mempertahankan kedaulatan dari tangan penjajah. Walaupun banyak korban berjatuhan tetapi semangat juang masyarakat Kota Pekalongan dalam peristiwa Kebon rojo perlu kita teladani. Peristiwa Kebon Rojo merupakan sebuah kejadian pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan masyarakat Pekalongan dari tangan Jepang. Kebon Rojo adalah sebuah lapangan tempat masyarakat berkumpul untuk menghadiri perundingan antara pihak Jepang dan rakyat Pekalongan pada tanggal 3 Oktober 1945.
Meski tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah diumumkan, namun di Pekalongan gaung proklamasi kemerdekaan terasa tenang – tenang saja. Isu kemerdekaan mulai ada, meskipun belum jelas dan hanya ada dalam taraf bisik – bisik saja, karena masih takut pada tentara jepang yang masih bersenjata lengkap.
Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, datang berita dari Jakarta yang mengabarkan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamasikan negara Indonesia Tanggal 17 Agustus 1945, serta berpesan agar Angkatan Muda untuk menyebarluaskan berita proklamasi ini, dan bersikap waspada serta siap menghadapi segala kemungkinan apapun yang akan terjadi.
Dengan bantuan para pemuda pengurus BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang), penyiaran berita proklamasi di daerah Pekalongan berjalan maksimal, sehingga rakyat Pekalongan dimana-mana memperbincangkan tentang proklamasi kemerdekaan.
Respon rakyat Pekalongan terhadap proklamasi kemerdekaan ini diwujudkan dengan sikap penuh kegembiraan, dan menjadikan hilangnya ketakutan terhadap Jepang. Di pihak Jepang sendiri berita proklamasi ini tetap dirahasiakan.
Lalu pada tanggal 28 Agustus 1945 di Pekalongan terbentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Karesidenan Pekalongan. Ketua KNID Pekalongan adalah Dr Sumbaji. Pengurus KNID Pekalongan menganjurkan suatu Badan Kontak yang terdiri dan wakil – wakil aliran politik masyarakat, dengan tujuan menampung aspirasi rakyat, agar segala tindakan bisa manunggal dan terkoordinasi, sebab sejak Pendudukan Jepang partai politik dilarang.
Lalu ada 3 kelompok organisasi yang melakukan usaha untuk memindahkan kekuasaan dari Jepang kepada Indonesia. Lalu, pemerintah Jepang melakukan perundingan dengan tiga wakil dari masyarakat pekalongan. Adapun ketiga wakil tersebut adalah, KNID (dipimpin Dr. Sumbadji), BPKKP (dipimpin Dr. Ma’as), dan Angkatan Muda (dipimpin Mumpuni dan Margono Jenggot).
Sejatinya, perundingan antara Jepang dan wakil masyarakat Pekalongan tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 1945, tetapi karena ada sesuatu hal, maka perundingan pun diundur menjadi tanggal 3 Oktober 1945 pukul 10.00 WIB yang dilaksanakan di gedung Kempetai.
Dengan wakilnya Mr. Besar Mertokoesoemo, masyarakat Pekalongan berunding dengan perwakilan pemerintah Jepang dalam rangka memantapkan penyerahan sekaligus perpindahan kekuasaan. Perundingan yang diundur 2 hari tersebut ternyata membuat rakyat memanas, tak ayal masyarakat Pekalongan pun berkobar mengepung gedung Kempetai.
Sebagai wakil masyarakat, Mr. Besar Mertokoesoemo mendesak pemerintah Jepang, dengan tiga tuntutan, antara lain sebagai berikut:
1). Jepang harus segera menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat Indonesia dengan cara damai.
2). Melakukan pelucutan senjata terhadap seluruh tentara Jepang.
3). Mr. Besar menjamin keamanan tentara Jepang meskipun kekuasaan sudah diserahkan kepada rakyat Indonesia.
Namun dari ketiga tuntutan tersebut, tak ada satupun yang disetujui oleh perwakilan pemerintah Jepang. Alotnya proses perundingan di dalam gedung kempetai, semakin membuat rakyat diluar gedung, semakin panas. Beberapa pemuda meneriakkan agar perundingan segera diselesaikan. Karena teriakan mereka tak digubris, dengan tanpa gentar, mereka menurunkan bendera Jepang yang berkibar di gedung tersebut kemudian menggantinya dengan bendera Republik Indonesia Sang Merah Putih. Namun, naas, tanpa ampun beberapa pemuda itu tewas ditembus peluru tentara Jepang.
Maka, tanpa komando ribuan rakyat yang telah mengepung gedung Kempetai secara serentak menyerang serdadu Jepang dengan senjata seadanya. Maka, perang antara rakyat Pekalongan dengan tentara Jepang pun tak dapat dihindarkan. Dalam catatan sejarah, sebanyak 37 rakyat Pekalongan gugur di medan perang kala itu, dan 12 orang lainnya menderita cacat.
Untuk mengingat sejarah tersebut, maka dibangunlah sebuah monumen yang terletak di Lapangan Kebon Rejo, Pekalongan. Sedangkan gedung Kempetai tempat perundingan, dirubah menjadi sebuah masjid yang dinamakan Masjid Syuhada. Di depan Masjid Syuhada di buat patung berwujud bambu runcing 4 buah yang masing-masing memiliki 5 ruas.
Tetapi sekarang, patung tersebut dirubah menjadi patung bambu 3 buah dan masing-masing ruasnya ditambah menjadi 10. Makna dari 3 bambu dan 10 ruas tersebut adalah, 3 mencerminkan tanggal 3, dan 10 merupakan bulan ke sepuluh saat terjadinya peristiwa tersebut. Dan hingga sekarang, setiap tanggal 3 oktober di depan monumen di Lapangan Kebon Rejo tersebut, selalu diadakan upacara peringatan dan aksi teaterikal oleh para pelajar di Pekalongan. Yuk kita teladani para pejuang yang telah rela berkorban jiwa dan raga dengan terus berkarya untuk Kota Pekalongan. (AWS) disadur dari boscha.id.
Meski tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah diumumkan, namun di Pekalongan gaung proklamasi kemerdekaan terasa tenang – tenang saja. Isu kemerdekaan mulai ada, meskipun belum jelas dan hanya ada dalam taraf bisik – bisik saja, karena masih takut pada tentara jepang yang masih bersenjata lengkap.
Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, datang berita dari Jakarta yang mengabarkan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamasikan negara Indonesia Tanggal 17 Agustus 1945, serta berpesan agar Angkatan Muda untuk menyebarluaskan berita proklamasi ini, dan bersikap waspada serta siap menghadapi segala kemungkinan apapun yang akan terjadi.
Dengan bantuan para pemuda pengurus BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang), penyiaran berita proklamasi di daerah Pekalongan berjalan maksimal, sehingga rakyat Pekalongan dimana-mana memperbincangkan tentang proklamasi kemerdekaan.
Respon rakyat Pekalongan terhadap proklamasi kemerdekaan ini diwujudkan dengan sikap penuh kegembiraan, dan menjadikan hilangnya ketakutan terhadap Jepang. Di pihak Jepang sendiri berita proklamasi ini tetap dirahasiakan.
Lalu pada tanggal 28 Agustus 1945 di Pekalongan terbentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Karesidenan Pekalongan. Ketua KNID Pekalongan adalah Dr Sumbaji. Pengurus KNID Pekalongan menganjurkan suatu Badan Kontak yang terdiri dan wakil – wakil aliran politik masyarakat, dengan tujuan menampung aspirasi rakyat, agar segala tindakan bisa manunggal dan terkoordinasi, sebab sejak Pendudukan Jepang partai politik dilarang.
Lalu ada 3 kelompok organisasi yang melakukan usaha untuk memindahkan kekuasaan dari Jepang kepada Indonesia. Lalu, pemerintah Jepang melakukan perundingan dengan tiga wakil dari masyarakat pekalongan. Adapun ketiga wakil tersebut adalah, KNID (dipimpin Dr. Sumbadji), BPKKP (dipimpin Dr. Ma’as), dan Angkatan Muda (dipimpin Mumpuni dan Margono Jenggot).
Sejatinya, perundingan antara Jepang dan wakil masyarakat Pekalongan tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 1945, tetapi karena ada sesuatu hal, maka perundingan pun diundur menjadi tanggal 3 Oktober 1945 pukul 10.00 WIB yang dilaksanakan di gedung Kempetai.
Dengan wakilnya Mr. Besar Mertokoesoemo, masyarakat Pekalongan berunding dengan perwakilan pemerintah Jepang dalam rangka memantapkan penyerahan sekaligus perpindahan kekuasaan. Perundingan yang diundur 2 hari tersebut ternyata membuat rakyat memanas, tak ayal masyarakat Pekalongan pun berkobar mengepung gedung Kempetai.
Sebagai wakil masyarakat, Mr. Besar Mertokoesoemo mendesak pemerintah Jepang, dengan tiga tuntutan, antara lain sebagai berikut:
1). Jepang harus segera menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat Indonesia dengan cara damai.
2). Melakukan pelucutan senjata terhadap seluruh tentara Jepang.
3). Mr. Besar menjamin keamanan tentara Jepang meskipun kekuasaan sudah diserahkan kepada rakyat Indonesia.
Namun dari ketiga tuntutan tersebut, tak ada satupun yang disetujui oleh perwakilan pemerintah Jepang. Alotnya proses perundingan di dalam gedung kempetai, semakin membuat rakyat diluar gedung, semakin panas. Beberapa pemuda meneriakkan agar perundingan segera diselesaikan. Karena teriakan mereka tak digubris, dengan tanpa gentar, mereka menurunkan bendera Jepang yang berkibar di gedung tersebut kemudian menggantinya dengan bendera Republik Indonesia Sang Merah Putih. Namun, naas, tanpa ampun beberapa pemuda itu tewas ditembus peluru tentara Jepang.
Maka, tanpa komando ribuan rakyat yang telah mengepung gedung Kempetai secara serentak menyerang serdadu Jepang dengan senjata seadanya. Maka, perang antara rakyat Pekalongan dengan tentara Jepang pun tak dapat dihindarkan. Dalam catatan sejarah, sebanyak 37 rakyat Pekalongan gugur di medan perang kala itu, dan 12 orang lainnya menderita cacat.
Untuk mengingat sejarah tersebut, maka dibangunlah sebuah monumen yang terletak di Lapangan Kebon Rejo, Pekalongan. Sedangkan gedung Kempetai tempat perundingan, dirubah menjadi sebuah masjid yang dinamakan Masjid Syuhada. Di depan Masjid Syuhada di buat patung berwujud bambu runcing 4 buah yang masing-masing memiliki 5 ruas.
Tetapi sekarang, patung tersebut dirubah menjadi patung bambu 3 buah dan masing-masing ruasnya ditambah menjadi 10. Makna dari 3 bambu dan 10 ruas tersebut adalah, 3 mencerminkan tanggal 3, dan 10 merupakan bulan ke sepuluh saat terjadinya peristiwa tersebut. Dan hingga sekarang, setiap tanggal 3 oktober di depan monumen di Lapangan Kebon Rejo tersebut, selalu diadakan upacara peringatan dan aksi teaterikal oleh para pelajar di Pekalongan. Yuk kita teladani para pejuang yang telah rela berkorban jiwa dan raga dengan terus berkarya untuk Kota Pekalongan. (AWS) disadur dari boscha.id.